Kesedihan & Harapan
Ada seorang perempuan mungil sedang
berjalan menelusuri sepanjang jalan berdebu. Ia kelihatan tua, tapi raut
wajahnya selalu tersenyum, memancarkan cahaya terang bagaikan seorang gadis
periang.
Perempuan tua itu kelihatan kurus
kerempeng, yang kemudian tiba-tiba berhenti melangkah di suatu tempat tak
berpenghuni, ia menunduk ke bawah, dan menatap ke arah bentuk menyerupai sosok
tubuh, yang sedang duduk berjongkok, bungkuk merunduk terbungkus debu. Ia tak
bisa mengenali lagi raut wajahnya. Ini mengingatkan dirinya pada kain sutra
abu-abu menyelimuti tubuh manusia. Perempuan mungil dan kecil itu lalu
menghampiri serta menyapanya dengan suara lembut, “Siapakah anda?”
Pancaran mata menatap hampa itu seperti
tak bernyawa, dan tampak lelah, “Aku? Kesedihan.” Bisiknya terbata-bata,
suaranya lembut berirama sendu hampir tak terdengar.
“Oh,
kesedihan,” Jawab perempuan mungil itu dengan rasa penuh bahagia, seakan-akan
mendengar ucapan dari seorang teman akrab yang telah dikenal lama. “Anda kenal
saya?” Tanyanya curiga.
“Tentu
saja aku tahu kau siapa, bukankah kau telah membimbing sebagian jalan hidupku?
“Ya,
tapi..” Kesedihan agak tergagap, “Mengapa kau tak tinggalkan saja aku sendiri
disini?”
“Mengapa
aku harus meninggalkanmu, sayangku? Bukankah kau telah mengetahuinya, bagaimana
nasib hidup setiap pengungsi yang diasingkan? Sebenarnya aku ingin bertanya ke
kau, mengapa kau tampaknya begitu putus asa?” Tanya perempuan tua itu dengan
penuh perhatian, lalu ditatapnya mata kesedihan. Wajah yang dulu teduh dan
tenang itu kini berurai air mata kesedihan.
“Aku … Aku sedih,” jawab sosok
berselimut abu itu, suaranya bergetar menahan pedihnya Kesedihan.
Perempuan tua itu lalu duduk di
sampingnya, “Kau kelihatan begitu sedih,” katanya sambil mengangguk-nganggukkan
kepalanya dengan penuh perhatian dan pengertian, “Ceritakanlah apa yang membuat
kau begitu mendalam sedihnya.”
Kesedihan menghela napas dalam-dalam.
Terbersit dibenaknya, apakah kali ini memang ada orang yang benar-benar ingin
mendengarkan kisah keinginannya? begitu seringnya orang yang ditemuinya menjadi
harapan keinginan dirinya.
“Oh, kau tahu itu,..” ia mulai
hati-hati bercerita, “tak ada seorangpun yang menginginkanku. Ini sudah suratan
hidupku, hanya sejenak hadir diantara orang-orang yang ingin denganku. jika aku
datang menghampirinya, mereka itu seketika merasa takut, serta menghindarinya
seperti aku ini wabah penyakit menular… “.
Kesedihan itu menelan air ludahnya,
kemudian meneruskan tuturkatanya: “Mereka itu telah menciptakan kata-kata, yang
di ucapkan untuk orang-orang yang ingin mereka asingkan, katanya: “Ah, hidup
ini adalah sebuah pesta besar”, dan dengan kepalsuan tawa riangnya, menyebabkan
perut mereka jadi kejang-kejang atau menderita gangguan pernapasan, katanya,
“kekesalan membuat situasi semakin parah”
Namun kenyataannya mereka diserang
sakit jantung, lalu katanya “Anda harus tetap bersama-sama”, tetapi malah di
bahu dan punggung mereka terasa semakin sakit dan nyeri, kemudian katanya lagi,
“Ah..mengeluh dan menangis hanya orang yang lemah, akhirnya mereka harus
menahan air mata, yang membuat kepala mereka merasa hampir meledak karena
terjangkit penyakit migraine akut. Atau mereka malah di bikin mati rasa,
menjadi pecandu alkohol atau obat-obatan, sehingga mereka tidak lagi merasakan
aku.”
“Oh ya, orang-orang ini memang sering
kutemui” Jawab perempuan tua itu dengan penuh keyakinan akan penjelasan
Kesedihan.Gejolak perasaan Kesedihan seperti semakin tenggelam dalam ketidak
berdayaanya, “Padahal aku ini hanya ingin membantu orang lain. Bila aku sangat
dekat dengannya, maka mereka itu bertemu dalam membangun rumah dirinya, dengan
begitu mereka mampu menyembuhkan luka-lukanya sendiri. Sedih memiliki kulit
sangat tipis, dan luka itu rasanya pedih serta menyakitkan. Penderitaan akan
berlangsung lama, bila penyembuhan luka parahnya tidak ditangani sampai
tuntas,”
Sejenak Kesedihan memandang Perempuan
Tua itu, dan menatapnya sedih dengan penuh kekecewaan, “Ugh..padahal siapa yang
mau kubantu, yang tidak menangis akan menjadi nangis sampai mengeluarkan
airmata, dengan begitu lukanya benar-benar bisa sembuh. Tapi bagi orang-orang
yang tidak ingin kubantu, sebaliknya, malah mentertawakanku dengan bekas luka
mereka yang masih memberkas, atau bahkan mereka penjarakan aku dengan lapisan
baju besi masa lalunya, penuh dengan penderitaan sangat pahit rasanya…”
Kesedihan tiba-tiba terdiam.
Suasana terasa menjadi hening dan
mencekam, tak lama kemudian terdengar suara isak tangis Kesedihan. Menangis
memang awalnya lemah, namun bisa menguat sampai akhirnya putus asa. Perempuan
tua itu lantas mendekatkan tubuh sosok Kesedihan, dirangkulnya dalam
pelukannya, lalu dihiburnya Kesedihan dengan kelembutan belaian sentuhannya,
serasa dalam jiwa getaran keinginan dari tumpuhan harapannya. “Menangislah,
sedih,” bisiknya penuh kasih sayang. “Ketenangan akan memberimu kekuatan baru,
mulai saát ini kau tak akan sendirian. Aku akan memandumu sampai putus asamu
tidak lagi berkuasa dalam dirimu.”
Kesedihan
tiba-tiba berhenti menangis. Ia duduk dan memandang teman barunya dengan heran,
“Tapi…..tapi..siapakahkau?”
“Aku?”
Tanyanya kembali pada Kesedihan, tiba tiba rambut Perempuan mungil dan tua itu
kelihatan semakin memutih, yang kemudian ia tersenyum cerah bagaikan gadis muda
yang periang, lalu jawabnya ceria “Aku, adalah Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar